Krisis finansial yang melanda tim sepakbola gabungan dua daerah,
Persipro, Kota Probolinggo dan Bondowoso United (Probond-U), berdampak
pada para pemain. Tiga pemain asing di Probond-U, Syilla Mbamba, Camara
Abdoulaye Sekou, dan Salomon Begondo pun telantar karena belum menerima
gaji.
”Kami sudah mendatangi rumah Pak Syaiful Bahri (Dirut
Utama Probond-U, Red.) Kamis (7/6) lalu di Bondowoso untuk menagih gaji
kami,” ujar Camara, Senin (11/6) pagi tadi. Tetapi upaya Camara bersama
dua legiun asing lainnya itu gagal lantaran Syaiful tidak ada di
rumahnya.
Ketiga legiun asing itu hanya ditemui puteri Syaiful
yang berusia 7 tahun. Ketika Camara cs bermaksud bertemu dengan istri
Syaiful, bocah perempuan itu mengatakan, ibunya terbaring di rumah
sakit.
Tidak putus asa, Camara cs kemudian mendatangi gedung
DPRD Bondosowo. Soalnya, Syaiful adalah anggota DPRD dari PKNU. ”Kata
Sekretarian Dewan, Pak Syaiful tidak ada di DPRD soalnya anggota DPRD
tidak ke kantor kalau tidak ada rapat,” ujarnya.
Tiga legiun
asing itu pulang dengan tangan hampa ke Kota Probolinggo. ”Kami menduga
Pak Syaiful sengaja bersembunyi,” ujar Mbamba.
Ketiga pemain
asing itu mengaku, sengaja ngeluruk rumah Syaiful atas saran Nasution,
Direktur Teknik Probond-U dan Walikota HM. Buchori. Trio Afrika itu
mengaku, hingga kini belum dibayar oleh managemen Probond-U, padahal
kompetisi sudah berjalan.
”Teman-teman Afrika di tim lain sudah menerima gaji, bahkan mereka sesekali bisa pulang kampung ke Afrika,” ujar Mbamba.
Yang
membuat trio pemain asing itu khawatir, Kartu Izin Tinggal Terbatas
(KITAS) yang mereka miliki telah habis. ”Jika kami ingin melanjutkan
kompetisi kami harus mengurus KITAS yang biayanya lumayan mahal, Rp 30
juta,” ujar Camara.
Dihubungi terpisah, Nasution mengatakan,
untuk sementara menempuh cara persuasif terhadap kepemimpinan Syaiful di
Probond-U. ”Kalau cara kami tidak digubris, ya kami akan menempuh jalur
hukum, melaporkan Pak Syaiful ke pengadilan,” ujar politisi PDIP itu.
Sebelumnya,
Nasution sempat membeber semua “dosa” Syaiful. Mulai gaji pemain yang
belum dibayar, uang muka kontrak 25% yang belum dilunasi, hingga soal
uang kompetisi Rp 500 juta dari PT Liga Primar Indonesia Sportindo
(LPIS) yang belum jelas peruntukannya.
Ketidakberesan
komunikasi antara Bondowoso-Probolinggo, kata Nasution, memicu sejumlah
efek buruk. Di antaranya, pemain mengancam mogok bermain hingga mereka
ngeluruk ke Bondowoso.
“Managemen Probond-U itu seharus
berperan sebagai ayah, selalu memantau kondisi anak-anaknya. Apa sudah
makan, apa punya kesulitan. Bukan diam saja,” ujarnya.
Berdasarkan
catatan, Probond-U memang baru “seumur jagung”, didirikan 12 November
2011 lalu. Gabungan dari dua tim, Persatuan Sepakbola Kota Probolinggo
(Persipro) dan Bondowoso United.
Sebelum bergabung menjadi
Probond-U, managemen Persipro kebingungan karena terancam tidak bisa
berlaga di Divisi Utama IPL. Soalnya sejak 2012, Persipro ”disapih” dari
APBD Kota Probolinggo.
Sesuai Permendagri 10/2011, pemerintah
tidak membolehkan lagi APBD tahun 2012 untuk “menyusui” klub sepakbola
profesional. Padahal pada 2010 dan 2011 lalu, Persipro masih disubsidi
APBD sebesar sekitar Rp 3 miliar/tahun. Sejumlah klub sepakbola yang
sudah berlaga di divisi utama termasuk Persipro pun kelimpungan.
Pesipro
pun kebingungan harus ke mana mencari dana Rp 3 miliar untuk modal
berlaga di divisi utama. Ibarat peribahasa, “Pucuk dicinta ulam tiba”
(mengharapkan pucuk daun/kulupan ternyata yang datang ikan), Persipro
pun bergembira dengan datangnya investor dari Bondowoso yang membawa
“ikan”.
Adalah Syaiful Bahri Husni, Manager Bondowoso United
yang mengajak Persipro bergabung, sekaligus menjanjikan pendanaan.
Sebuah memori kesepahaman (Memorandum of Understanding) pun
ditandatangani Syaiful (Manager Bondowoso United) dan HM. Buchori (Ketua
Umum Persipro), 12 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar